Aku : Assalamu’alaikum.
Umi : Wa’alaikumussalam sehat a?
Aku : Alhamdulillah sehat umi, umi sendiri? Keluarga?
umi : Alhamdulillah sehat a, jadi a pulangnya?
Aku : Insya Allah jadi umi, tapi Cuma seminggu, tanggal 11 sampe 17..
Umi : mau di sediain apa di subang (pertanyaan ini udah dua kali di ulang, waktu telpon 3 hari yang lalu)
Aku : mau nasi liwet, ikan asin dengklang ( ngga tau b. Indo nya ini ikan..:D), daun kates, sambel. (jawaban 3 hari yang lalu Cuma bilang “apa aja umi, ngga usah repot2”..hihi dasar plinplan)
Umi : aduh itu sama ikan asin kok meumeut nian (sangat sayang), Insya Allah nanti di siapin spesial buat aa.
Aku : (menarik nafas), endo kangen masakan umi....(sambil menyeka air mata)
“kok meumeut nian (sangat sayang)” jika aku bilang menginginkan makanan yang mahal-mahal, betapa kejamnya diri ini. Mungkin akan terlihat sangat sombong. Ya karena jiwaku hanya sampai pada ikan asin, ikan yang waktu aku kecil selalu jadi menu kebiasaan keluarga. Cukuplah aku tetap menjadi aku yang dulu, dalam hal ini. Dalam hal yang bersifat fana. Ya hanya satu kata “SEDERHANA”
Umi : a beliin umi tv ya, tv di rumah rusak (tv hitam putih jaman dulu). Kalau ngga ada tv, umi ngga bisa liat berita. Nggak enak punya anak jauh. (maksudnya biar tau apa aja yang terjadi di Palembang ini).
Aku : (air mata kembali menetes) Insya Allah umi, tapi yang 14 inc aja ya. Kalau beli yang besar, nanti bayar listriknya besar, juga sama aja mau besar atau kecil inc’y, sama-sama gitu gambarnya..hihi..(dengan harapan umi ngga merajuk mau yang besar)
Umi : y udah terserah aa aja, yang penting ada tv aja dirumah. Malu umi, kalau tiap nonton berita ikut ke tetangga terus.
Aku : Insya Allah umi. (menyeka air mata)
Allah, apa yang aku lakukan disini. Aku menelantarkan ibuku sendiri. Semakin malu diri ini, berapa tahun dalam buaian kasih sayangnya, dan sekarang aku udah besar belum sedikitpun kata bahagia yang bisa dipersembahkan. Keluargaku adalah kewajibanku, cinta yang dulu bersemi ketika aku pertama membuka mata di dunia ini.
Ketika nyawa ibuku dipertaruhkan...
Berjuang melahirkan aku..
Tetes keringatnya bukan kebencian tapi harapan
Jeritan kesakitan, bukan hambatan
Ada kasih sayang yang dalam, di setiap detik tarikan nafasnya
18 tahun yang lalu...
Aku terlahir kedunia..
Yang pertama kulihat tersenyum padaku
Bukan ayah atau orang lain..
Tapi ibu..
Ibu yang selalu mendendangkan tilawah
Dalam malam penantian..
Melihat wujud aku...
Kini ketika semuanya ku fahami..
Ada cinta dalam 18 tahun, esok dan selamanya
Ada kasih yang tiada bertepi
Hanya untukmu
UMI...
Zundillah Ishlah
Rindu...rindu...rindu...
Palembang, 26 April 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar