Minggu, 27 Maret 2011

Optimis

Masalah merupakan sebuah keniscayaan, tidak ada hidup tanpa melewati sebuah masalah. Masalah adalah sunatullah, bahkan alat untuk menunjukkan sejauh mana diri seorang manusia itu lemah atau kuat. Alangkah miris, jika ada orang yang berkeluh kesah dengan mengatakan Allah azza wajalla tidak adil karena merasa tidak pernah menemukan solusi terhadap masalah yang dihadapi. Allah azza wajalla selalu menguji hambanya dengan masalah sesuai kadar kemampuannya, itu adalah cermin bagi setiap pribadi. Allah azza wajalla pun tidak akan pernah menurunkan masalah tanpa melampaui batas kemampuan hambanya. Keputusasaan adalah tanda kemunduran husnudzon terhadap Allah azza wajalla, dan perlintasan yang melenakan dari jalan fitrah.

Allah menguji hambaNya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang ke luar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang ke luar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah). (HR. Ath-Thabrani)

Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah 'Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)

Seorang mukhlis akan senantiasa optimis dalam menghadapi masalah yang pelik dan berubi-tubi yang dihadapi, dan senantiasa melihat ada sebuah hikmah yang terkandung di atas manhaj yang benar.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu.(Q.S Al-Baqarah: 216)

Terkadang apa yang membuat hati kita tidak suka, kita akan menganggap itu adalah sebuah bencana yang mengerikan. Cobaan yang terus menghampiri, kelaparan yang berkepanjangan, pekerjaan yang melelahkan tidak pernah selesai, tugas-tugas yang menguras pikiran kita, semua itu menjadikan hati selalu berperasangka buruk. Abu Darda’ berkata: ada tiga hal yang sangat dibenci oleh orang-orang, namun aku justru menyukainya. Ketiga hal tersebut adalah: Aku suka kefakiran, sakit dan kematian. Mengapa? Karena kefakiran adalah ketenangan hati, sakit adalah pelebur dosa, dan kematian adalah pertemuan dengan Allah azza wajalla.

Di dalam kesempitan yang kita rasakan, selalu tersembunyi jalan keluar. Dalam kesedihan yang dihadapi, ada hal yang menggembirakan dari kesedihan itu sendiri. Dari ujian-ujian yang selalu datang seakan-akan adalah bencana, maka itu akan berubah menjadi sebuah kebaikan iman dan optimisme dari ujian yang dihadapi dengan hati yang ikhlas.

“Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami”. (Fathir: 34)

Sudah saatnya melebur tangis dengan bahagia, damaikanlah bola mata dengan optimisme bahwa segala yang kita inginkan akan tetap tercapai selama kita meyakininya. Manusia hanya diperintahkan untuk berusaha mencapai apa yang dicita-citakan, tapi hasilnya semua kembali kepada Allah azza wajalla. Bukan sebuah kelaziman jika kita berkeluh kesah terhadap sebuah kegagalan, tapi jadikanlah kegagalan ada sebuah cermin sebagai guru untuk muhasabah di masa mendatang.

Allah azza wajalla yang menyibakkan subuh, menggerakkan gunung-gunung berjalan, meniupkan angin, menurunkan hujan yang menjadikan tumbuh-tumbuhan subur, Allahlah yang mengatur hidup dan kehidupan.

“Dan, malam ketika telah berlalu, dan shubuh apabila mulai terang” (Q.S Al-Muddatstsir: 33-34)

Malam akan tesibak, simpulkun akan terurai.

Yang takut mendaki gunung akan selamanya hidup dalam kubangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar