Kamis, 17 Juni 2010

Penantian Pengantin Syurga

Dalam hampa dalam hening yang menggoda

Menggerogoti keluh sukma dalam ilalang bergoyang

Melucuti keresahan yang kian mendalam

Merasuk dalam ingatan tak terpendam

Dalam kelam malam menyingkap cahaya


Kupastikan tak ada harapan yang terkelupas

Selalu datang dalam bejana-bejana nafas suci

Gemerincik mata air suci tak terkotori

Menghijaukan dataran harapan yang membentang

Membelah padang rumput ilalang bergoyang


Harapan kian terpendam

Mengubur diri menjadi biji mempersiapkan kehidupan

Mengatur nafas-nafas indah nan suci pupuk penyubur cinta

Takkan datang dalam malam

Atau terik mentari siang


Selalu pasti datang tak tahu kapan

Walau bersembunyi dalam semak takdir

Kelak saat hujan datang kan muncul

Hijau berbalut warna warni mengharumkan daratan

Pelangi meninggi menaungi putih mawar harum mewangi


Iring-iringan burung mengucap takbir

Mengintari makluk bermahkota cinta dalam doa

Tawa riang pipit-pipit senja dalam semak hijau nan indah

Akhir indah dalam persimpangan cinta menuju syurga


Disetiap doa

Palembang, 17 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Hari Keadilan Sesungguhnya

Dalam tabir yang tak bisa seketika terbuka

Menghentakan kaki-kaki mungil ketanah merah kelam

Menyeruak mengeringkan daratan hijau

Mendidihkan samudera es kehidupan


Hari-hari kan berlalu begitu lama

Menghitung detik seperti peralihan tahun

Harap tinggi namun takkan ada kalimat kembali

Karena hari itu ketetapan menjadi fenomena tak terpikirkan


Mata-mata nanar tak peduli sekeliling

Langkah kaki dalam pasir tandus panas berkerak hitam

Begitu sibuk dalam timbangan masa lalu tak kembali

Hati gersang penuh harap tuk sedikit menorehkan iman

Tapi apalah air mata darah karena hari takkan berulang


Begitu panas gersang mencekik kehausan

Tenggelam dalam keringat keputusasaan

Bergerak sesuai amal..

Berjalan sesuai pahala kebaikan..

Ratusan kilometer tak dihendaki

Tapi harus dilakukan


Menjulang tinggi timbangan keadilan..

Hitam atau putihkah..

Benar atau salahkah...

Kembali takkan terjadi...

Inilah kepastian tak terulang..

Inilah keadilan tak tersuap...


Lingkup senja gerimis

Palembang, 17 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Sabtu, 12 Juni 2010

Menanti Pelangi saat terbit mentari

Di ufuk senja yang terkulai.

Tak perlu takut karena terbit kan terus terulang

Hingga hari terakhir mentari menutup muka

Mengulurkan lebam merah kegelisahan..


Kalapun esok tak ada cahaya..

Tetaplah tersenyum di selip bilik

Lubang-lubang kecil cahaya menyelinap

Merekah merah walau buram

Namun kan terlihat cahaya walau titik


Bagiku dirimu sungguh berharga

Senyummu..

Katamu..

Tatapanmu..

Itu semua membuat hidup ini terasa lebih bermakna

Bersanding dalam ruang pelangi

Di sela malam kala mata menutup kegelisahan


Selalu indah dalam makna

Dalam harap yang kurasa hanya kita yang punya

Dalam asa..

Yang pernah kita tancapkan saat langkah

Di putaran waktu poros mentari terbit


Andai waktu kan terus terulur

Walau dalam kelu

walau dalam kepayahan menunggu

di setiap senja di putaran waktu

takkan lelah yang terucap

tapi harap yang kan terus menatap

sampai esok sampai waktu bertemu mentari terbit

karena dirimu sungguh berharga..


Untukmu menunggu

Palembang, 13 Juni 2010

Zundillah Ishlah

Teranglah Matahariku.!

Kini senja telah usahi

Sambutan bulan malam terang temaram

Sejuk menusuk, meneduhkan mata hati

Merengkuh dekapan mimpi-mimpi

Esok menjelang langkahkan kaki


Istirahatlah dulu matahariku

Esok titik mata menunggu cahayamu

Merenda harapan karena senyummu

Menuliskan catatan untuk selalu menuggu


Esok dirimu harus terbangun segar

Pagi sebentar lagi kan menjelang

Tugasmu adalah suci

Menghijaukan hati dalam gua-gua kegelapan

Ada suatu tempat wahai matahari

Yang tak dapat kau sinari

Yang tak pernah dapat dirimu menembusnya


Namun dalam harapku

Kau tetap bisa menghangatkan tempat itu

Meramaikan kehidupan

Mengeringkan tetes air mata kehidupanmu

Yang mengajari arti penting sebuah senyuman

Yang mengajari indahnya pelangi setelah hujan


Esok dirimu harus sendiri matahariku..

Musim hujan kan turun lebat

Setiap hati meringis merindukan belaianmu

Ku harap kau tetap ada dengan senyumanmu

Matahariku.!


Adikku Nurbaya

Palembang, 12 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Sabtu, 05 Juni 2010

Takkan Menyerah Pada Badai

Aroma laut asin dalam bibir cabir penuh luka

Menambah perih sayatan tajam di tengah samudera ganas

Gemuruh teriakan buih berlari menepi

Mencari satu dua pasir ikut menari irama ketukan ombak


Di tengah samudera ini dayung menari tak hiraukan sakit

Terjungkit berkali-kali terombang-ambing

Dayung memacu asa, mundur terus namun tetap maju

Sekalipun syaraf mulai mengeras kepayahan


Menerjang tajamnya asin pahit kehidupan smudera tak menentu

Berkali-kali memuntahkan seperti racun

Menjalar dalam jantung memaksa tuk berhenti

Cipratan tajamnya karang menusuk mata

Darah yang tersembur dari sela-sela kulit ari

Mengajarkan sebuah kata “kamu harus mengeluh”

Mencuci mata hari dengan asin tajam seolah tak mungkin

Tak ada sekedar air tawar meredakan goncangan batin


Namun badai pasti berlalu..

Disana kan ketemukan batas tawar dan asin

Lukapun pasti mengering..


Mendayung di tengah samudera laku nihil

Sejauh apapun pasti kan diketemukan

Keyakinan dan pengalaman

Mengajarkan senyum disetiap kepayahan

Bahwa esok hari simpangan labuh

Dipelupuk hati kian dekat...


Untuk Saudara2ku yang sedang sama2 berjuang

Palembang, 5 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Jumat, 04 Juni 2010

Keadilan Yang Terkapar

Keadilan tak dihiraukan...

Telanjang di atas norma-norma bau bangkai

Mengatasnamakan hak asasi manusia

Tapi menutupi setiap mulut insan terkapar


Keadilan yang di muntahkan..

Bangkai-bangkai korban kemunafikan

Mengerang sakit...

Namun atas nama keadilan

Tertawa bukanlah halangan

Walau di ujung sana tetes darah

Terus meluap di laut-laut perdamaian


Keadilan seperti apa itu?

Jika saudaraku kalian tendang

Jika saudaraku kau injak..

Ya, pasti anda bilang atas nama keadilan

Keadilan busuk bangkai nanah-nanah kemungkaran


Disini kami menanti sebuah keadilan..

Dari buah bibir organisasi tertinggi jagat raya manusia

Dan kami tetap sabar menanti..

Hingga kalian terus mengulang kata-kata busuk..

Sungguh kami masih tetap sabar..

Ketika mata kalian melihat nyata

Saudara kami terkapar korban kekejian..

Tapi sepertinya kalian sudah tuli

Bahkan mata kalian tertutup uang recehan

Mana keadilan?


Tapi setelah ini darah kami mendidih..

Dada kami sesak..

Ketika seribu kata melukiskan kebancian anda

Bergaya seperti jaman malin kundang..

Bisa anda hanya mengutuk dan mengutuk..

Coba tanya pada saudara kami disana

Apa cukup dengan mengutuk?

Apa cukup hanya dengan memuntahkan isi mulut?


Tetes Air Mata untuk kalian saudaraku..

Palembang, 5 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Rabu, 02 Juni 2010

Dimana Arti Kemanusiaan?

Allah..

Hati menjerit

Batinku terkoyak

Ketika kemanusian mulai tertindih

Dalam got-got kemunafikan

Ketika aqidah jadi bahan gunjingan

Menukar dengan selembar uang kertas lusuh

Allah..

Kembali air mata ini mengalir

Saat teriakan kasar syarat kesakitan

Dilontarkan saudara kami di seberang sana

Dimana keadilan?

Dimana kedamaian?

Jika hari-hari adalah darah

Jika hari-hari satu persatu

Nyawa saudara kami terkapar

Jika hari-hari kebohongan terus diteriakan

Allah..

Sesak dada ini

Hari ini berapa ribu

Saudara kami merintih menahan sakit

Dalam jeruji-jeruji kebiadaban

Mana pemimpinku?

Mana pemimpinku?

Aku tak butuh mulut busukmu

Aku tidak butuh air mata kepicikanmu

Hai sang pemimpin..

Kemana nuranimu?

Kemana Aqidahmu?

Bancikan dirimu?

Liat saudara kami, saudaramu!!!

Berteriak dalam debu, dalam peluru...


Teringat saudara di laut Mediterania..

Palembang, 2 Juni 2010

Zundillahi Ishlah

Kelak ajal kita?

Terlahir dalam janji nan suci

Meronta dalam teriakan pertama

Menggigil merasakan adanya alam baru


Air mata tak surut dalam syukur

Demi membasahi dahaga hati


Perputaran jarum jam dunia

Mengantar hari pada waktu

Setiap detik yang tak pernah kembali

Setiap menit yang kan terus menjadi

Bayang-bayang penyesalan


Esok tak kuasa menahan sembab

Ketika maut dengan geram

Mengunci kekejian nurani

Membungkam mulu-mulut busa kufur


Tangisan kosong penuh kesakitan

Urat nadi mengeras

Darah mengalir dengan deras

Detak jantung tak terkendali

Sakit tak terperi

Bak tiga ratus sayatan pedang


Sakit..sungguh sangat sakit

Takkan kembali..

Jika hari itu

Kemudi hidup telah berada

Jarak kerongkongan


Penyesalan hanyalah dusta

Karena waktu berlalu

Yang terdengar hanyalah tawa durjana


Akan kah kita seperti itu

Semoga mati dalam iman!


Pagi Gerimis

palembang, 2 Juni 2010

Zundillahi Ishlah